Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. (Pasal 39 ayat 2 UU No. 1/74 tentang Perkawinan).
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar keamampuannya.
c. Salah satu pihak maendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekeajaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pada pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewaajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami isteri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Sedangkan, jika yang akan bercerai beragama Islam, ada dua hal lain yang juga dapat dijadikan alasan untuk melakukan perceraian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut :
a. Suami melanggar taklik-talak.
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Adapun tata cara perceraian diatur didalam PP NO. 9 TAHUN1975
TENTANG PELAKSANAAN UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
BAB V TATACARA PERCERAIAN
Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan Sidang Pengadilan.
Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar keamampuannya.
c. Salah satu pihak maendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah asatu pihak melakukan kekeajaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pada pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewaajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami isteri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Pasal 34
(1). Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2). Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 36
(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.
(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.
(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setealah diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama.
Jika anda memerlukan bantuan Pengacara Perceraian bisa kontak kami.
0 comments:
Post a Comment